Saturday, August 23, 2008

Membangun Sepakbola Indonesia Masa Depan

Keberadaan Arsenal Football School Di Tangerang dan Real Madrid Football School Rencana Di Pulau Bali tidak akan berbuat banyak untuk perkembangan sepakbola masa depan yang terpadu. Kedua Football School itu hanya pengembangan sayap bisnis mereka saja dan tidak ada hubungannya dengan pembangunan sepakbola Indonesia masa depan. Yang ada hanya pencetak pemain yang syukur-syukur digunakan oleh Arsenal dan Real Madrid.

Secara teori, sistem pembinaan yang paling baik itu adalah Kompetisi. Sekarang coba kita liat, apakah ada kompetisi di Indonesia. Jika Indonesia terlalu besar, kita perkecil ke tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Apakah kita punya kompetisi yang permanen, lancar, kompetitif dan teratur? Belum lagi kalau ditanyakan apakah ada kompetisi dari kelompok umur paling bawah misalnya dari usia 12 tahun. Jawabannya adalah AMAT SANGAT TIDAK ADA!! Dengan jawaban itu kapan kita bisa berharap akan muncul sepakbola dan pemain sepakbola yang handal? Yang terlihat hanyalah sistem yang instant dan biaya besar seperti tim U17 di Uruguay sekarang, yang hanya mengulangi kesalahan dari PSSI Pratama, Garuda I, Garuda II, Primavera dan Baretti.

Memang ada Danone dan lain-lain membuat turnamen kelompok umur, tapi itu sifatnya temporer dan hura-hura saja. Tidak ada kontribusinya untuk kemajuan sepakbola di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Danone sudah berkiprah dari tahun 2002, berarti sekarang sudah 6 tahun. Artinya juga, jika hasil Danone itu bagus, Tim Indonesia Usia 16 s/d 18 tidak akan jadi bulan-bulanan negara lain dalam turnamen resmi.

Dengan tidak adanya kompetisi yang rutin, ketat dan teratur dari Umur 12 tahun, bagaimana kita bisa memberikan pengalaman tanding secara resmi kepada calon-calon pemain masa depan. Seorang pemain atau calon pemain masa depan itu punya standar minimal kuantitas mereka bertanding resmi secara teratur dan terjadwal.

Contohnya, pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah berapa kali Bambang Pamungkas bermain dalam pertandingan resmi dari usia 12 tahun. Belum lagi pertanyaannya berapa gol yang sudah diciptakan, asist yang pernah diberikan, kartu kuning atau kartu merah yang didapat. Dengan tidak ada data itu bagaimana kita bisa menjual pemain keluar negeri? Wajar sekali kalau pemain kita tidak punya nilai jual di luarnegeri, selain karena memang secara kualitas tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan dari paparan diatas adalah : yang dibutuhkan saat ini adalah adanya Kompetisi kelompok umur dari 12 tahun sampai 18 tahun. Tidak perlu scopenya terlalu besar untuk seluruh Indonesia, dimulai dulu misalnya di DKI Jakarta atau Jabotabek. Dibuat Kompetisi antar SSB yang ada di Jabotabek dengan Kompetisi yang teratur, permanen dan jangka panjang. Bukan turnamen yang 15 hari habis, tapi betul-betul kompetisi yang selesai dalam 1 tahun.

Kemudian dari kompetisi itu direkam database masing-masing anak-anak calon pemain masa depan itu. Sehingga waktu mereka sudah dewasa, mereka punya track record yang bisa digunakan secara profesional.

Jika cara ini dilakukan akan mengatasi beberapa kendala selama ini ada yaitu :
1. Pemain Indonesia masa depan akan lahir dari kompetisi yang ketat, bukan pemain yang instant.
2. Pemilihan pemain nasional akan lebih fair karena dipilih dari hasil kompetisi dan publik melihatnya. Tidak asal comot berdasarkan rekomendasi dari sana-sini.
3. Pemain yg lahir akan merupakan pilihan terbaik termasuk dari segi mental dan kelakuan. Karena persaingan yang ketat, maka mereka tidak manja dan bertingkah yang aneh-aneh seperti sekarang.
4. Akan ada data pemain yang akurat yang ini bisa dimanfaatkan oleh klub-klub profesional untuk merekrut pemain dan juga berguna bagi jurnalist untuk memperkaya liputan.
5. Dengan kompetisi ini, selain melahirkan pemain, juga pendukung lainnya akan menjadi terasah kemampuannya, yakni para wasit dan pelatih. Wasit punya banyak jam terbang memimpin sehingga dari Kompetisi kelompok umur/usia muda ini akan muncul wasit-wasit yang baik untuk Liga profesional. Begitu juga dengan pelatih. Akan muncul pelatih yang berpengalaman bukan pelatih yang karbitan yang terpilih hanya karena kedekatan dengan Pengurus.
6. Keterlibatan sponsor akan lebih solit karena ada kepastian produk mereka akan sukses dengan mensponsori kompetisi.
7. Pemborosan dana yang dilakukan selama ini dengan mengirim tim keluar negeri dapat ditekan, dan uang yang beredar hanya di dalam negeri. Ini juga berguna untuk ketahanan perekonomian nasional.

Untuk konsep Kompetisi ini sendiri sudah ada, dan terbuka untuk didiskusikan. Jika ada pencinta sepakbola yang peduli dengan sepakbola Indonesia masa depan, kita bisa memulainya, dan setelah 2 kali Olimpiade ke depan, kita sudah punya Timnas U23 yang bisa diandalkan yang pemainnya sudah ditempa selama lebih dari 8 tahun berkompetisi yang ketat.

Jika ini tidak berhasil juga, berarti Teori yang mengatakan bahwa Kompetisi adalah sistem pembinaan yang paling sempurna, patut dipertanyakan.

Dimintakan komentarnya untuk penyempurnaan konsep yang sedang dibangun.

Thanks All..

7 comments:

Agung Wasono said...

Kemarin kan ada juga tuh di salah satu TV swasta, pencarian bakat sepakbola. tapi ya entah gimana endingnya gak jelas karena mungkin cuman kepentingan bisnis aja...

ainul ridha, the nice seen said...

Maksudnya acara MyTeam di TPI itu ya. Kegiatan seperti itu tidak ada kontribusinya buat kemajuan olahraga. selain sepakbola, cabang tinju juga ada ajang seperti itu. Hasilnya ya, ga jelas juga.

Makanya sebaiknya ditawarkan sebuah sistem bukan sebuah event untuk memajukan olahraga khususnya sepakbola.

Eko Widodo said...

bung...

Tulisan yang bagus. Kompetisi, dalam sebuah sistem olahraga, adalah tools untuk mencapai kejayaan, entah kejayaan dalam prestasi, prestis, maupun ekonomis dalam sebuah industri sepakbola.

Catatan saya, bangsa ini tidak pernah mau bersatu memajukan olahraga. Semuanya maunya bergerak parsial dan untuk kepentingan masing-masing. Jika bergerak bersama-sama, para 'mafia' dan 'tuan tanah' yang yang sudah gemuk dalam sistem 'abu-abu' jelas akan terganggu.

Banyak uang kok di dalam PSSI, namun apakah itu digunakan untuk memutar kompetisi secara ideal dan benar, rasanya kok tidak. Tepatnya, bangsa ini sudah kehilangan idealisme sehingga mengabaikan kompetisi.

Kebijakan olahraga yang membumi dan diimplementasi oleh kompetisi yang bergerak di semua lini adalah jawaban atas semuanya. Pelaku olahraga yang jujur dan berdedikasi itulah yang kini sangat sedikit di negara ini.

Salam olahraga, terus berkarya ya Bung!

ainul ridha, the nice seen said...

Bang Eko,

Aku coba masukkan tulisan ini dalam detik forum dan kaskus forum. ternyata banyak juga tanggapan dari para netter.

Bisa di lihat diskusinya yang sangat konstruktif pada http://forum.detik.com/showthread.php?t=55703, dan http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1084895

mohon tanggapannya juga

Anonymous said...

Saya Anwariansyah

Naggapin komentar Mas di blog saya http://carritawisatatourtravel.blogspot.com
atas posting berjudul : Sepak Bola Indonesia Tidak Mungkin Masuk Babak Penyisihan Piala Dunia :

1.Terimakasih atas komentarnya
2.Pemikiran saya bisa dikembangkan dalam kuantitas lebih besar lagi.
3.Permasalahan adaptasi lingkungan, cuaca, dan budaya di eropa (yang sering dijadikan tempat berlaga) adalah dasar pemikiran utama.
4.Mengenai biaya, ini yang susah dibicarakan, he he he, karena di eropa komersialisasi olah raga demikian hebatnya, sedangkan di Indonesia, sponsor diminta aja susah (olah raga ngga laku dibanding konser musik)
5.Saya sudah baca tulisan Anda, dan saya setuju. Di Cina dan Rusia (negara komunis) pemerintah bisa maksa atletnya. Di Eropa dan USA olahraga disenangi banyak orang dan mengundang sponsor. Di Indonesia seni lebih dilirik dibanding olahraga dan lebih jadi uang. Mau bagaimana lagi ?

Salam

ainul ridha, the nice seen said...

Bung Anwariansyah,
Terima kasih atas jawaban komentarnya di Blog saya, ada beberapa yang perlu didiskusikan lagi. Antara lain :
No. 3.Permasalahan adaptasi lingkungan, cuaca, dan budaya di eropa (yang sering dijadikan tempat berlaga) adalah dasar pemikiran utama.dan
No.4.Mengenai biaya, ini yang susah dibicarakan, he he he, karena di eropa komersialisasi olah raga demikian hebatnya, sedangkan di Indonesia, sponsor diminta aja susah (olah raga ngga laku dibanding konser musik)
Untuk dua hal ini akan terbantah kalau kita melihat negara-negara Amerika Latin atau Negara-negara Afrika mampu bersaing ke Piala Dunia. Artinya tentang cuaca dan dana itu tidak lagi menjadi penghambat mengapa suatu negara tidak bisa bersaing ke piala dunia.
Kalau Faktor cuaca dan dana, mengapa negara seperti New Zeland tidak bagus sepakbolanya? Cuaca mereka sama dengan di Eropa walaupun mereka di belahan bumi yang berlainan. Keuangan negaranya juga hampir sama dengan negara-negara di Eropa.
Jadi menurut aku, memang sistem kompetisi dan pembinaan usia dini yang menitikberatkan kepada kompetisilah yang menentukan.
Menarik diskusi ini, terima kasih.

Serawiski said...

Kompetisi di indonesia belum sempurna

- Sistem pencarian bakat harus dimulai dari tingkat usia 5-6 tahun
- Sebaiknya sepak bola masuk dalam kurikulum olah raga mulai dari tingkat sekolah dasar
- adakan kompetensi antar sekolah dasar dan dibagi dalam dua tingkatan yaitu kompetensi SD tingkat A (misalnya) untuk kelas 1 s.d 3 dan kompetensi SD tingkat B untuk kelas 4 s.d 6
-kompetensi sistem berjenjang dimulai dari tingkat se-kelurahan atau se-kecamatan

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono