Saturday, November 22, 2008

Prestasi Timnas Cerminan Pola Pembinaan (Jangan Salahkan Benny Dollo)


Bagi sebagian pencinta sepakbola di tanah air, hasil tim nasional senior dalam kejuaraan Grand Royal Challenge Cup di Myanmar minggu lalu adalah buruk. Tapi ada juga yang menilai hasil ini adalah hasil yang wajar, kejuaraan ini dianggap hanya sebagai pemanasan sebelum Piala AFF. Namun kalau kita melihat secara jernih, kita harus prihatin dengan kondisi ini.

Hasil ini memperlihatkan bahwa untuk kawasan Asia Tenggara saat ini kita yang sudah tertinggal dari Thailand dan Singapura sekarang tidak mampu mengatasi Myanmar. Sementara dengan Vietnam, Laos dan Malaysia masih saling mengalahkan.

Jika kita tidak waspada dan berbenah, bukan tidak mungkin kita juga akan ditinggalkan Vietnam, Laos dan Malaysia dan bahkan akan dikejar oleh Kamboja, Filipina atau Brunei sekalipun. Artinya kita sebagai negara yang berpenduduk paling banyak dan wilayah paling luas di Asia Tenggara menjadi negara yang paling kecil dalam sepakbola

Mengapa hasil tim nasional kita terus menurun dari waktu ke waktu? Padahal dalam dua tahun terakhir, timnas Indonesia telah berganti pelatih sebanyak tiga kali. Mulai dari Peter White, Ivan Kolev dan terakhir Benny Dollo. Hasilnya tetap tidak membaik. Komentar terhadap kualitas dan posisi pelatih mulai bermunculan.

Sebenarnya, siapapun yang menjadi pelatih Timnas Indonesia tidak akan merobah keadaan. Yang menjadi masalah itu bukanlah pelatihnya. Tapi adalah bahan baku pemain. Ibarat orang mau memasak, makanan itu akan lezat jika bahan bakunya berkualitas. Bahan yang ditanam oleh petani atau peternak yang telaten mengurusnya, dengan pemupukan dan pemeliharaan yang baik dan teratur. Dari hasil itulah dipilih bahan baku yang terbaik kemudian diolah oleh tukang masak yang handal. Maka terhidanglah makanan yang lezat dan memuaskan para penikmatnya.

Begitu juga dengan prestasi Timnas yang merupakan perwujudan atau cerminan dari pola pembinaan sepakbola suatu negara mulai dari usia yang sangat dini. Dan kompetisi adalah bentuk pola pembinaan yang terbaik itu. Ini saling berkait dan jangan dibalik. Kalau orang mengatakan bahwa hanya kompetisi profesional yang mencerminkan prestasi Tim Nasional, ini akan terbantahkan dengan kasus persepakbolaan Inggris saat ini. Tapi pola pembinaan usia dini melalui kompetisilah yang baik dan teraturlah yang menjadi kunci keberhasilan prestasi sebuah tim nasional.

Sekarang yang banyak di Indonesia adalah pemain yang ngotot tapi minim skill, dan pemain yang kaya teknik tapi miskin mental bertanding. Kedua masalah ini adalah perwujudan dari pola pembinaan tadi, dan hanya bisa diatas dengan membangun pola pembinaan sepakbola masa depan yang baik dari usia dini melalui kompetisi yang ketat dan teratur.

Prosesnya tidak bisa sebentar, butuh minimal 12-15 tahun. Ini dengan asumsi jika kita mulai sekarang pada anak-anak usia 12 tahun, maka 12-15 tahun mendatang mereka berusia 24-27 tahun. Ini adalah masa keemasan bagi pemain sepakbola. Di saat inilah kita baru bisa melihat hasilnya.

Kapan kita bisa mencapai itu? Pertanyaannya kapan kita melakukan pembinaan mulai usia 12? Dari situlah kita mulai berhitung. Jika kita tidak pernah tahu kapan mulainya, berarti tambah mundurlah waktu "panen"nya. Dan pembinaan itu haruslah melalui mekanisme kompetisi. Bukan melalui pelatnas.

Hasil yang dicapai tim nasional saat ini, membantah pola pembinaan sepakbola nasional selama ini. Di mana kita sering membuat pelatnas-pelatnas jangka panjang untuk kelompok umur. Kita pernah membuat pelatnas pemain yunior di Medan dengan tim pelatih yang didatangkan dari Inggris dibawah kepemimpinan Jim Bryden. kemudian pernah tim yunior U23 dikirim ke Belanda yang ditangani oleh pelatih kenamaan dari Belanda Foppe De Haan.

Bahkan dalam saat itu dalam sebuah wawancara, pelatih Foppe De Haan mempunyai kesimpulan dan menjadi judul berita dengan kop yang besar. “Mereka tidak tahu caranya mencetak gol!" (Sindo 2/8/06)

Hasil binaan pelatnas ini yang menjadi pilar tim nasional saat ini. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dan malah membenarkan kesimpulan dari De Haan. Artinya pola pembinaan yang dilakukan selama ini bukan pola pembinaan yang ideal dan benar. Yang menjadi kebutuhan saat ini adalah, bagaimana menciptakan pembinaan sejak usia dini melalui jalur kompetisi yang ketat dan teratur. Barulah kita bisa berharap prestasi kepada tim nasional sepakbola kita.

Jadi, kalau kita meminjam sebagian ungkapan yang sering disampaikan oleh seorang Dai kondang beberapa tahun yang lalu, Indonesia harus merobah pola pembinaan sepakbolanya mulai dari usia dini, mulai dari area yang kecil dan mulai dari sekarang. Jika tidak, kita akan semakin tertinggal, terpuruk dan semakin terperosok ke dalam jurang yang lebih dalam.
Selengkapnya...

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono