Wednesday, September 24, 2008

Kinerja Wasit Indonesia, Ekses dari Sistem Kompetisi


Di setiap pergelaran Liga Indonesia ataupun pertandingan-pertandingan sepakbola lainnya di Indonesia, wasit selalu dianggap menjadi penyebab terjadinya kericuhan. Padahal kita tidak pernah tahu proses ideal lahirnya seorang wasit. Sistem kompetisi di tanah air lah yang mempunyai kontribusi terhadap kualitas wasit yang memimpin.

Jika mendapatkan seorang pemain bagus dan berkualitas tidak bisa hanya dengan melatih dia bertahun-tahun. Tapi berlatih dan bertanding yang teratur. Begitu juga dengan Wasit. Tidak ada Pil yang mujarab, tidak ada sekolah yang paten untuk melahirkan seorang wasit langsung jadi. Banyak aspek yang mempengaruhi. Tapi bisa digolongkan kepada 3 hal besar :
1. Input
2. Proses
3. Suistainability (keberlanjutan).

Input adalah dari mana si wasit itu berasal. Kalau di negara maju, wasit itu dididik dari saat dia duduk di bangku kuliah. Makanya banyak wasit yang sudah TOP di Eropa itu berprofesi sebagai Banker, pengacara, manager dll. Secara intelektualitas sangat bagus dan mereka sudah mapan. Sistem pendidikan disana juga berbeda dengan kita, faktor kepemimpinan juga mempengaruhi si calon wasit itu. Dan lagi, bagi mereka menjadi wasit hanya sampingan dan hobby.

Bahkan di Amerika Serikat, wasit dimulai dari umur 14 tahun. mereka itu memimpin kompetisi kelompok umur 12 tahun. Umur 18 tahun memimpin umur 16 tahun. Jadi mereka juga ada jenjang sendiri mengikuti jenjang pemain. Untuk menjadi wasit pun mereka menjalani psikotes selain test fisik

Sementara di Indonesia, wasit itu berasal dari pengangguran, tentara atau guru (guru olahraga). Yang penting pintar lari maka loloslah jadi wasit. Karena kekurangan pertandingan yang reguler, orang-orang yang berintelektualitas yang tinggi menjadi malas untuk jadi wasit.

Yang kedua adalah proses. Wasit kita setelah dapat sertifikat C3, karena tidak jelasnya pertandingan, sehingga mereka memimpin Tarkam. Disini mental mereka sudah dirusak. Jadwal memimpin juga tidak pasti. Sehingga jam memimpin mereka menjadi minim. Idealnya seorang wasit dengan lisensi C3 itu memimpin pertandingan resmi minimal 40 kali setahun untuk level Pengcab (perserikatan) dan dia harus melaluinya selama 2 tahun.

Setelah 2 tahun naik ke Lisensi C2 dengan ikut kursus peningkatan lisensi. Setelah lulus dan memiliki Lisensi C2, maka dia juga diharuskan memimpin minimal 40 kali dalam 1 tahun untuk level Pengda. Ini juga harus dilalui si Wasit idealnya minimal selama 2 tahun, setelah itu baru dia bisa ikut Kursus C1 untuk wasit nasional dan berhak memimpin di Liga Indonesia. Namun tidak semua yang ikut kursus akan lulus begitu saja. Ada juga yang lulus bersyarat.


Inilah proses ideal yang harus dilalui oleh seorang wasit untuk bisa memimpin di liga Indonesia. Prakteknya bagaimana?

Kita tahu kalau tidak ada kompetisi yang teratur di Indonesia. Sudah barang tentu tidak ada wasit yang bisa memenuhi standar minimum tersebut diatas. Jadi mereka setelah lulus C3, memiimpin sekali-sekali, namun rajin latihan lari. karena standarnya seorang wasit itu harus mampu berlari sejauh 2400m selama 12 menit. Kemudian mereka ikut Kursus C2, dan luluslah mereka dengan kemampuan lari yang bagus. Begitu juga untuk C1. Mana ada kompetisi yang ketat untuk level pengda di Indonesia.

Jadi bisa dibayangkan kualitas wasit yang memimpin di Liga Indonesia. Pengalaman memimpin yang minim dan hanya mengandalkan kemampuan lari sudah bisa dibayangkan kualitasnya. Pengalaman mengambil keputusan di lapangan itu tidak bisa diajarkan dengan teori, tapi itu dipraktekkan berulang-ulang dan dalam tekanan pertandingan yang stabil.

Sekarang mereka kebanyakan tidak mempunyai pengalaman memimpin dilevel yang rendah, langsung diterjunkan di level pertandingan yang tinggi dengan tekanan yang tinggi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi.

Yang ketiga adalah masalah sustainability. Kalau ada keberlanjutan sebuah kompetisi dan jelas arahnya yang pada akhirnya si wasit akan merasakan kebutuhan kalau dia memimpin dengan baik akan dipakai dan ditugaskan menjadi wasit, maka mereka akan memimpin dengan baik.

Kesimpulannya adalah, mendidik pemain harus sejalan dengan mendidik wasit. Solusinya ya.. itu tadi.. harus ada kompetisi yang teratur dari tingkat usia muda sampai senior, dengan scope kecil. Hanya itu obatnya. Tidak ada yang lain.

Jadi kinerja wasit yang bobrok adalah ekses dari sistem kompetisi di Indonesia yang tidak pernah mendidik dari usia dini. TIdak ada kompetisi-kompetisi reguler ditingkat lokal, kelompok umur untuk mendidik dan mematangkan semua komponen yang terlibat. Sehingga Liga Indonesia sebagai Universitasnya Sepakbola, tidak bisa menghadirkan kualitas yang diharapkan.

Saya pemegang salah satu lisensi wasit diatas. Teman-teman seangkatan sudah banyak yang naik level. Tapi saya belum mau karena merasa belum matang untuk memimpin. Selain itu hal ini sekaligus protes terhadap proses yang ada. Ada teman yang karena rajin latihan lari (karena dia memang atlet lari) lolos seleksi naik tingkat, sementara pengalaman memimpin dan pengetahuan sepakbolanya masih minim. Padahal (bukan narsis sih) hasil review komisi wasit di tempat saya bernaung, saya termasuk yang cukup tegas memimpin, dan cukup paham peraturan. Kelemahannya hanya difisik. Saya malas latihan.

Untuk itu saya lebih banyak fokus untuk membuat kompetisi di kelompok umur sehingga ada sarana mencari pengalaman bagi teman-teman wasit seangkatan saya.
Selengkapnya...

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono